Alih Fungsi Lahan Hutan di Indonesia

pic Alih Fungsi Lahan Hutan

Sejak lama Indonesia dikenal dengan julukan negara agraris. Berbagai macam jenis tanaman pertanian dan perkebunan dapat ditemukan di Indonesia. Luas lahan pertanian Indonesia berdasarkan data statistik tahun 2014 adalah 41,5 juta hektar. Terdiri dari 567 ribu hektar tanaman hortikultura, 19 juta hektar tanaman pangan, dan 22 juta hektar tanaman perkebunan. Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan penduduk terpadat ke empat di dunia. Berdasarkan data dari CIA World Factbook tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia 225.993.674 jiwa atau sekitar 3,5% dari keseluruhan jumlah penduduk Dunia.

Negara Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Mulai dari minyak bumi, batu bara, timah dan lain sebagainya yang berada di bawah bumi, sampai spesies-spesies yang langka dan tanaman perkebunan yang dapat ditemukan di permukaan buminya dimana kawasan hutan Indonesia dari data yang ada mencapai 162 juta hektar. Lahan hutan terluas itu ada di Papua (32,36 juta hektar luasnya). Kemudian hutan Kalimantan (28,23 juta hektar), Sumatera (14,65 juta hektar), Sulawesi (8,87 juta hektar), Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta hektar), Jawa (3,09 juta hektar), serta Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta hektar).

Fakta diatas menunjukkan betapa kayanya Indonesia. Sayangnya, menurut buku Rekor Dunia Guinness, Indonesia adalah negara yang memiliki tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa hutan di dunia. Menurut buku tersebut, Indonesia menghancurkan luas hutan yang setara dengan 300 lapangan sepak bola setiap jamnya. Forest Watch Indonesia pun mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, sampai saat ini saja sudah mencapai 2 juta hektar per tahun. Sebanyak 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah. Akibatnya, luas hutan Indonesia selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar (Sumber : Kompas.com).


Memang, Alih fungsi lahan bukanlah hal baru di Indonesia, sejak zaman penjajahan pun alih fungsi lahan sudah berlangsung sebagai konsekuensi dari yang namanya industri. Permintaan pasar terutama dari Eropa, membuat para penjajah memaksa untuk menanam tanaman industri tersebut, mulai dari kopi, teh, kakao, dan masih banyak lagi. Dalam UU No. 41 tahun 1999 pasal 19, istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan;

  • Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan.
  • Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui perubahan peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah, dan non kehutanan lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula melalui perubahan fungsi hutan namun tidak mengurangi luas kawasan hutan, misalnya untuk yujuan pembangunan kehutanan (konservasi kawasan hutan alam/tanaman, hutan pendidikan/penelitian dsb).
  • Alih fungsi kawasan hutan yang berimplikasi terhadap berkurangnya luas kawasan hutan produksi adalah kegiatan pelepasan hutan. Kebijakan di masa lalu, dalam upaya mendukung pembangunan di luar sektor kehutanan telah ditetapkan Rencana Penatagunaan dan Pengukuhan Hutan (RPPH) yang tertuang dalam TGHK (tahun 1980) bahwa kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dialokasikan sebesar + 30 juta hektar.

Kita ambil contoh di Provinsi Lampung dari data yang ada Kawasan hutan dan perairan Propinsi Lampung yang ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 1999 adalah seluas ± 1.004.734 ha. Dimana keadaan penutupan lahan propinsi Lampung, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat yang berkisar dari tahun 1994 s/d 1998 di wilayah daratan Lampung diketahui bahwa luas daratan yang masih berupa hutan (berhutan) adalah sebesar 11% dan daratan yang bukan berupa hutan (Non Hutan) sebesar 82%. Penutupan lahan non hutan adalah penutupan lahan selain daratan yang bervegetasi hutan yaitu berupa semak/belukar, lahan tidak produktif, sawah, lahan pertanian, pemukiman, alang-alang dan lain-lain.


Konversi hutan terjadi di Provinsi Lampung sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Laju penggundulan hutan (deforestasi) di Lampung relatif tinggi. Luas hutan selama beberapa tahun terakhir telah berkurang dengan cepat dan menyebabkan kerusakan hutan. Pada tahun 1999/2000 kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBB) adalah 82,014 hektar atau 25,28% dan pada tahun 2005 adalah 99,904 hektar atau 28% dari luas total hutan TNBB. Sebesar 11% lahan hutan rusak menjadi lahan belukar dan padang alang-alang dan 17% sisanya hutan dikonversi menjadi lahan pertanian yaitu 88,2% digunakan untuk usaha tani kopi. Sedang menurut Bappeda Propinsi Lampung (2007), kerusakan hutan di Propinsi ini mencapai 80% untuk Kawasan Hutan Lindung, 67,5% untuk Kawasan Hutan Produksi Terbatas, dan 76% untuk Kawasan Hutan Produksi Tetap. Berikut keadaan Penutupan Lahan Propinsi Lampung berdasarkan penafsiran citra satelit tahun 1994-1998.

Tabel 1. Penutupan Lahan

Penutupan

Luas (ha)

Persen Luas (%)

Total Daratan yang ditafsir

3.359.906

100 %

Berhutan

361.319

10,75 %

Bukan hutan

2.760.658

82,16 %

Berawan

237.929

7,08 %

Sumber : Pusat Data dan Perpetaan 1998

Laju pengurangan hutan (Deforestasi) di Propinsi Lampung berdasarkan hasil perbandingan dari Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra tahun 1997 Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 13 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan sebagai berikut :

Tabel 2. Perubahan Penutupan Lahan

Penutupan Lahan

RePProT (1985)

Dept. Hutan (1991)

Dept. Hutan (1997)

Luas areal yang ditafsir

3.386.700

3.598.020

3.359.906

Hutan

647.800

570.060

361.319

% hutan

19,1 %

15,8 %

10,8 %

Sehingga berdasarkan data di atas rata-rata deforestasi hutan Propinsi Lampung dari tahun 1985-1997 adalah 23,873 %. Salah satu penyebab deforestasi hutan di Propinsi Lampung adalah alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian.


Selain itu pakar tata ruang dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna memberikan contoh juga mengatakan kasus pengalihfungsian lahan hutan menjadi kawasan permukiman yang melanggar rencana tata ruang wilayah sudah kerap terjadi di berbagai daerah.

“Sudah banyak sekali. Di Puncak (Bogor) itu sebetulnya banyak vila dibangun di kawasan hutan lindung. Ada juga hotel baru di Uluwatu (Bali), padahal kawasan lindung,” kata Yayat.

Sedikit contoh diatas, melihat laju degradasi hutan di Indonesia hal ini dinilai sangat memprihatinkan. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi dan menekan laju degradasi tersebut karena sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai penyeimbang fungsi ekosistem. Peranan hutan sangat penting dalam sistem penyangga kehidupan. Hutan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran udara, sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai oksigen untuk kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Namun bisa dibayangkan dengan kondisi hutan kita sekarang yang maraknya dialihfungsikan ke bentuk lain akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Boleh kita lihat bencana alam dimana-mana, seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global yang banyak diisukan oleh dunia internasional.


Dengan demikian apakah alih fungsi lahan hutan di Indonesia adakah yang mendasarinya?. Karena ditinjau dari Undang-Undang Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan, namun ada aturannya. Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.

Pemerintah telah memberikan solusi akan masalah alih fungsi lahan ini, seperti menerapkan denda untuk penebangan hutan dan hukum pidana. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke 18 UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidannya berat.

Namun dengan dikeluarkannya moratorium konversi hutan alam sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 603/Menhutbun-VIII/2000 jo surat Menhut No. 1712/Menhut-VII/2001 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati seluruh Indonesia untuk tidak menerbitkan rekomendasi permohonan pelepasan kawasan hutan bagi pengembangan budidaya perkebunan, sehingga dengan adanya penerapan moratorium konversi hutan alam tersebut, maka sejak 7 Juni 2000 Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tidak lagi mengeluarkan ijin alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan pelepasan kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan budidaya pertanian/perkebunan. Sehingga kedepan Tata kelola hutan di era otonomi daerah ini, diharapkan memberi manfaat besar bagi warga sekitar hutan itu. Permasalahan tata kelola hutan menjadi salah satu faktor tergerusnya hutan di dunia. Padahal fungsi hutan itu sangat banyak, terutama bila dikaitkan pada masalah pemanasan global. Salah satu kunci untuk mengelola hutan yang berkelanjutan, adalah menyepakati soal tata kelola hutan oleh berbagai pihak.

 

sumber : fmsc.lk.ipb.ac.id